Prospek Menjanjikan, Investasi Petrokimia Ditaksir Capai US$30 Miliar
Jakarta, 3 Desember 2022 – Industri petrokimia menjadi salah satu industri unggulan yang menjadi penyangga ekonomi tahun depan dengan nilai investasi miliaran dolar sehingga perlu mendapat dukungan kuat dari semua pemangku kebijakan (stakeholder). Hal tersebut menjadi simpulan webinar yang diselenggarakan PT PRPP pada Rabu (30/11/2022).
Webinar bertema “Membangun Industri Manufaktur dengan Petrokimia” ini merupakan bagian dari rangkaian acara peringatan ulang tahun ke-5 PT PRPP. “Setiap tahunnya kita adakan webinar untuk menambah pemahaman dan kesadaran kita semua mengenai bisnis petrokimia, khususnya yang saat ini sedang dikerjakan PT PRPP,” tutur Direktur Utama PT PRPP Reizaldi Gustino dalam pidato sambutannya.
Hadir sebagai pembicara di webinar tersebut yakni Plt Dirjen Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Ignatius Warsito, Direktur Pengembangan Bisnis Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Budi Susanto, dan Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad.
Reizaldi mengatakan industri petrokimia hulu merupakan satu dari sepuluh industri kimia dasar berbasis migas dan batu bara yang menjadi fokus pengembangan industri nasional. Saat ini PT PRPP mendapat mandat atau amanat untuk menjalankan proyek Grass Root Refinery (GRR) Tuban, yang merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional. Hal ini terkait dengan besarnya nilai impor produk plastik dan turunannya di Indonesia yang mencapai US$8,7 miliar per September 2022.
“Dengan pengembangan industri petrokimia hulu diharapkan industri-industri di atasnya termasuk pendukungnya dari barang modal, penolong, termasuk industri andalan semuanya akan terdorong oleh berkembangnya industri petrokimia. Mungkin dalam beberapa tahun ke depan sampai 2030 kita punya portofolio project, baik di Pertamina Group maupun pihak swasta, nilainya mencapai US$30 miliar dan ada penambahan 7 juta ton per tahun produk petrokimia hulu, utamanya polipropilen dan polietilen,” tutur Reizaldi.
Ignatius Warsito mengatakan pemerintah berupaya membangun kemandirian petrokimia nasional, baik di sektor hulu, antara, dan hilir terutama di tengah risiko terjadinya krisis ekonomi pada tahun depan. Pihaknya akan mendorong industri petrokimia nasional untuk menggarap pasar dalam negeri, sebelum menggarap pasar ekspor petrokimia.
“Ini baik untuk menjaga keamanan dan kenyamanan saat terjadi krisis ekonomi global ataupun situasi yang tidak mendukung. Kementerian Perindustrian sangat gembira, mendukung penuh kehadiran megaproyek GRR Tuban agar kita bisa berdiri di kaki sendiri walaupun ada tantangan di 2023 dengan mengantisipasi dan memitigasi krisis ekonomi global. Saya yakin dan percaya dengan bekerja bersama, akan terwujud cita-cita bersama ini,” tutur Warsito.
Budi Susanto menyambut positif kemajuan pembangunan proyek GRR Tuban yang diharapkan menjadi yang terbesar di Asia Tenggara, mengingat masih besarnya permintaan produk petrokimia di Tanah Air sebagaimana terlihat dari besarnya impor produk tersebut per tahun.
“Tahun 2021, polietilen (PE) masih ada impor sekitar 770.000 ton atau 42% dari total permintaan plastik. Polipropilen (PP) lebih tinggi lagi, masih ada (impor) 1,1 juta ton atau sekitar 58%. Walaupun terjadi pandemi, ternyata demand plastik terutama PE dan PP masih tinggi. Jadi teman-teman PRPP, anda masuk tepat pada waktunya,” tuturnya.
Dia juga berharap PT PRPP bisa mewujudkan industri petrokimia nasional yang terintegrasi dengan memproduksi dan memasok nafta. “Harus menjadi salah satu industri petrokimia terintegrasi tidak hanya refinery dan petrokimia di Tuban tapi harus sejalin dan terinterasi dengan petrokimia di Banten, karena mereka tidak punya nafta sementara anda (PT PRPP) punya nafta.”
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai prospek industri petrokimia sangat besar dengan pertumbuhan yang stabil. Sampai dengan kuartal III 2022, pertumbuhan industri kimia rata-rata 7-8%. Kebutuhan etilen, polietilen, propilen, dan polipropilen saja rata-rata meningkat sebesar 3,5% per tahun sampai 2045 sehingga membuka peluang untuk menggarap pasar domestik.
Terkait dengan itu, dia mengingatkan perlunya mengamankan bahan baku agar tidak mengganggu proses produksi ke depan. Demikian juga dengan perlunya mengamankan daya saing. Indef menyarankan pemerintah menangguhkan rencana pembebasan bea masuk produk petrokimia impor, agar sejalan dengan upaya memperkuat industri petrokimia nasional.
“Saya tergelitik mengenai rencana pembebasan bea impor, ini harus dikaji lebih dalam. Apakah rencana itu justru menjadi bumerang bagi industri kita, karena tren importasi yang tinggi, apakah ini akan membuat lemah daya saing petrokimia kita?” pungkas Tauhid.*